Pers dan Mahasiswa ORBA
Dasar-Dasar Jurnalistik Dosen : Bpk. Bambang Wisudo “Pers dan Mahasiswa Masa ORBA” Disusun oleh: Michele Vannessha-915070013 Yuilyana-915070050 Calvin Hidayat-915070111 Carina-915070113 A. Sejarah Pers Abad ke-20, Raden Mas Tirto Adhi Soerjo –> Soenda Berita – 17 agustus 1903 –> Medan Priaji – 1 Januari 1907 –> Setelah kemerdekaan, Mochtar Lubis –> Harian Indonesia Raya
B. Pers Orde Baru Pers masa Orde Baru (1966-1974), pers berorientasi pada masyarakat, populistik, kritis dan bebas. Setelah periode 1974, pers Indonesia secara bertahap mulai dibatasi kemerdekaannya, dan puncaknya pada saat dikeluarkannya keputusan keharusan media cetak memperoleh Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP) dari departemen penerangan RI, hal ini dapat membuat pemerintah dapat mengendalikan kehidupan pers Indonesia dengan represif. Pada masa ORBA, perselisihan pemerintah dengan pers seperti api dalam selimut atau tidak tampak di permukaan. Di masa ORBA hampir tidak ada pertikaian yang diselesaikan di meja hijau karena sanksi terhadap media cetak yang diperkarakan justru diselesaikan dengan pencabutan SIUPP. Dengan kata lain pemerintahlah yang mengatur hidup matinya pers. Dan pers yang kritis menjadi musuh bagi negara, seperti majalah Tempo, Detik dan Editor yang di bredel karena mengangkat berita hasil investigasi keterlibatan B.J.Habibie ( saat itu menristek) dalam kasus pengadaan kapal bekas Jerman yang dinilai sarat KKN. Media elektronik pada masa ORBA pun tidak luput. Berita dari TVRI, televisi pemerintah, harus di-relay oleh televisi swasta. Siaran berita RRI, radio pemerintah, juga harus di-relay oleh radio swasta. Televisi dan radio swasta tidak boleh membuat sendiri versi acara berita mereka. Mereka hanya boleh membuat “majalah berita”. Setiap pukul 20.00 WIB dan 21.00 WIB televisi swasta harus menyiarkan acara “Berita Nasional” (berita dalam negeri) dan “Dunia Dalam Berita” (berita luar negeri) dari TVRI. Dan hampir setiap jam radio swasta harus menyiarkan “Warta Berita “dari RRI. Dengan begitu tidak ada sudut pandang yang berbeda dengan pemerintah dalam menyingkapi suatu berita. Dan dapat diartikan bahwa “ sebuah berita menjadi benar hanya jika pemerintah mengatakan bahwa berita itu benar.”. Selama pemerintah Presiden Soekarno dan Presiden Soeharto tercatat 237 penerbitan pers di bredel karena pemberitaannya dinilai mengganggu stabilitas kekuasaan. Pada era ORBA, hasil investigasi atas dugaan korupsi besar-besaran di PN Pertamina dan liputan mengenai peristiwa malari/15 Januari 1974 mengakibatkan Mochtar Lubis ditahan 2,5 bulan dan “Indonesia Raya” di bredel. Selain itu, liputan investigasi Majalah Tempo tentang dugaan KKN dalam pembelian sejumlah kapal perang eks Jerman Timur berakibat majalah profesional dan bertiras terbesar itu dibatalkan SIUPP (21/06/1994). Dan wartawan surat kabar Bernas Yogyakarta, Fuad Muhammad Syarifuddin pada 13 Agustus 1996 , tewas di aniaya dalam melaksanakan tugas profesi, terkait dengan pemberitaannya tentang dugaan KKN dalam pemilihan Bupati Bantul. Orde Baru adalah periode panjang sejarah di mana pers disubordinasikan kepada kepentingan-kepentingan penguasa. Dengan logika developmentalis, pers dipaksa menjadi perangkat politik untuk menyukseskan program pembangunan dan kebijakan-kebijakan penguasa. Dan rezim Orde Baru terus-menerus mengintroduksi slogan-slogan, seperti “pers Pancasila”, “pers Pembangunan”, “pers sebagai pemersatu bangsa”, “pers yang bebas dan bertanggung jawab” sebagai mekanisme untuk membatasi ruang gerak pers. Pers pembangunan adalah pers yang harus senantiasa mengendalikan diri, melakukan self-censorship, dan memastikan setiap pemberitaan tidak menimbulkan eskalasi ketidakpuasan terhadap pemerintah. Pers Pancasila adalah pers yang harus senantiasa menekankan pentingnya harmoni antara pers, pemerintah. (Jakob Oetama, 1987). Secara paradoksal dapat dikatakan, kritisisme pers diberi kesempatan untuk berkembang, hanya sejauh tidak mengganggu stabilitas politik dan legitimasi kekuasaan Orde Baru. Jati diri pers profesional kurang lebih adalah : 1. Tidak berpihak kepada siapa pun, kecuali kepada kebenaran, tidak menjadi alat siapa pun, kecuali menjadi alat bagi publik untuk mengontrol kekuasaan (ekonomi dan politik). 2. Pers profesional senantiasa menjaga jarak kepada siapa pun dan berusaha mengembangkan prinsip- prinsip imparsialitas. 3. Pers profesional senantiasa kritis terhadap keadaan dan peka terhadap segala bentuk penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power). Harapan-harapan agar pers bisa bekerja sama dengan pemerintah hanya relevan untuk pers era Orde Baru, atau untuk media-media yang menjadi organ pemerintah, seperti TVRI dan RRI. (Bahkan menurut UU Penyiaran No 32/2003, TVRI dan RRI pun harus mengubah diri dari media pemerintah menjadi media publik). Orde Baru tidak memformulasikan kebebasan pers yang bertanggung jawab—artinya, tanggung jawab adalah garis batas kebebasan dan sebaliknya tidak kurang benarnya yakni kebebasan adalah garis batas tanggungjawab. Tanpa kebebasan tidak mungkin menuntut tanggungjawab dan tanpa tanggungjawab tidak mungkin menuntut kebebasan—tetapi dengan rumusan pers bebas dan bertanggungjawab (dalam Dakhidae, 1997: 31). C. Pers yang Mandul pada Orde Baru Di masa Orde Baru mungkin nasib pers terlihat sangat mengkhawatirkan. Bagaimana tidak? Pers sebegitu rupanya harus mematuhi rambu-rambu yang negara telorkan. Sejarah juga memperlihatkan kepada kita bahwa adanya Pwi (Persatuan Wartawan Indonesia) tidak membawa perubahan yang sinifikan pada pola represi itu. Yang ada justru PWI dijadikan media yang turut mencengkeramkan kuku-kukunya pada kebebasan pers di tanah air. Hal tersebut terlihat ketika terjadinya pembredelan pada beberapa media massa nasional yang sempat nyaring bunyinya. Contoh: Ketika Tempo, Editor dan DeTIK dibredel oleh pemerintah, PWI yang seharusnya menggugat justru memberi pernyataan dapat memahami atau menyetujui keputusan yang sewenang-wenang itu. Lalu PWI pula justru mengintruksikan kepada pemimpin redaksi agar memecat wartawannya yang bersuara nyaring terhadap pemerintah. Sehingga tidak salah jika Surbakti (1997: 43) mencatat bahwa PWI adalah salah satu dari alat pengendalian pers oleh pemerintah. Pada titik itulah Orde Baru memainkan politik hegemoninya melalui model-model pembinaan. Setidaknya, ada dua arah pembinaan yang dapat kita lihat yaitu: 1. Pertama, mengimbau atau tepatnya melarang pers memberitakan peristiwa atau isu tertentu dengan segala alasan dan pembenaran, dan menunjukan kesalahan-kesalahan yang dilakukan oleh pers. Pada kenyataannya pers pada masa itu sedemikian dekatnya dengan logika self-censorship, baik hal ini dipaksakan oleh negara atau pun keinginan murni dari pemimpinnya. 2. Bentuk lain dari hegemoni negara atas pers di tanah air adalah munculnya SIUPP yakni Surat Izin untuk Penerbitan Pers. Orde Baru sedemikian ketatnya dalam hal pengawasan atas pers, karena mereka tidak menghendaki mana kala pemerintahan menjadi terganggu akibat dari pemberitaan di media-media massa. Sehingga fungsi pers sebagai transmisi informasi yang obyektif tidak dapat dirasakan. Padahal dengan transmisi informasi yang ada diharapkan pers mampu menjadi katalisator bagi perubahan politik atau pun sosial. Sedangkan pada masa Orde Baru, fungsi katalisator itu sama sekali hilang. Hal ini seperti apa yang disampaikan oleh Abar (1994: 23) bahwa kebebasan pers waktu itu ternyata tidak berhasil mendorong perubahan politik menuju suatu tatanan masyarakat yang demokratis, tetapi justru mendorong resistensi dan represi negara. Penelitian yang dilakukan Abar berkenaan dengan pers di awal masa Orde Baru bisa jadi benar hanya pada titik tertentu. Artinya, pertanyaan yang relevan untuk diajukan adalah mengapa negara begitu resisten dan represif terhadap pers? Penelitian ini sendiri sama sekali tidak menyinggung hal tersebut. Padahal pertanyaan di atas adalah pertanyaan yang sangat mendasar tentang sistem kepolitikan Orde Baru khsususnya perlakuannya pada lembaga pers. D. Media yang Pernah Dibungkam di Bawah Rezim Soekarno dan Soeharto
No. | Media | Tahun | Alasan/ keterangan |
1 | Revolusioner | 1945-1949 | Soepeno, pemimpin redaksi tersebut menyebut soekarno bombastis. |
2 | 40 media di Jakarta dan daerah yang berhaluan kiri | 1960 | Militer mengeluarkan surat izin terbit (SIT)untuk willayah Jakarta pada 1958. presiden sukarno membelakukan SIT secara nasional pada 1960. |
3 | Sekitar 46 surat kabar | 1968 | Dianggap berhalua kiri. |
4 | Tabloid Mingguan Sendi | Februari 1972 | Menghina presiden Soeharto karena mengulas proyek pembangunan TMII yang di garap istri presiden. |
5 | Koran Sinar Harapan | 1973 | Memberitakan rencana anggaran belanja negara yang belum di bahas di DPR. |
6 | 1. Harian Nusantara 2. Harian Indonesia Raya 3. Harian Kami 4. Harian Abadi 5. Harian Pedoman 6. Harian The Jakarta Times 7. Harian Sulu Berita (Surabaya) 8. Harian Indonesia Pos (Makassar) 9. Mingguan Mahasiswa Indonesia 10. Mingguan Wenang 11. Majalah Ekspres Majalah Pemuda Indonesia | 1974 | Peristiwa Malari pecah pada 15 Januari 1974 |
7 | 1. Kompas 2. Sinar Harapan 3. Merdeka 4. Pelita 5. Sinar Pagi 6. Pos Sore 7. Media Kampus | 20 Januari 1978 | Penutupan media ini hanya berlangsung dua minggu setelah pemimpin redaksi membuat ‘kesepakatan’ untuk memlihara stabilitas nasional. |
8 | Harian Sinar Harapan | Oktober 1986 | Menuliskan berita tentang devaluasi yang di anggap spekulasi dan meresahkan masyarakat |
9 | Harian Prioritas | Februari 1987 | Menurunkan tulisan berjudul Hutang Luar Negeri RP 6,7 Trilyun Jatuh tempo. |
10 | 1. Majalah Tempo 2. Majalah Editor 3. Tabloid Detik | 21 Juni 1994 | 1. Tempo memberitakan masalah yang membahayakn stabilitas nasional, yaitu sebuah laporan utama tentang pembelian kapal perang eks Jerman Timur oleh AL. 2. Editor tidak mengajukan nama baru bagi pemimpin redaksi dan pemimpin umum yang sudah tidak aktif lagi sejak 1993. 3. Detik menyimpang dari misi awal sebagai tabloid informasi detektif dan kriminal. |
F. Kegiatan Mahasiswa Pada Masa Orde Baru 1. Dari Tiarap sampai Menjatuhkan Soeharto Pers mahasiswa nyaris selalu terlibat dalam denyut perjuangan bangsa. Sejak zaman kolonial Belanda, hingga masa Reformasi 1998. Mengambil peran sebagai ‘pers alternatif’, pers mahasiswa membangun jaringan dan mengorganisir gerakan mahasiswa. Reporter KBR68H menelusuri gerakan pers mahasiswa yang aktif di balik Reformasi 1998 dari beberapa kota. Pers mahasiswa Indonesia punya sejarah panjang. Majalah yang diterbitkan pada tahun 1924 oleh Perhimpoenan Mahasiswa Indonesia di Belanda, serta beberapa terbitan lain di masa kolonial bolehlah disebut sebagai cikal bakal perlawanan pers Mahasiswa. Dalam edisi perdananya Majalah menulis:
Perlawanan kaum muda ini tak pernah surut meski harus menghadapi tekanan penguasa, juga di era Orde Baru. Pada tahun 1980an, Amir Daulay dan teman-temannya di Universitas Nasional Jakarta mendirikan dengan semangat perlawanan. Karena, pasca Malari, Malapetaka 15 Januari 1974, hampir semua elemen gerakan mahasiswa tiarap. Pemerintah giat memberangus gerakan mahasiswa, terutama yang kritis terhadap kebijakannya. Kondisi makin parah dengan pemberlakuan NKK/BKK, Normalisasi Kehidupan Kampus/Badan Koordinasi Kemahasiswaan. Aktivitas politik mahaiswa dimandulkan. .
Amir Daulay:PolitikaAmir Daulay dan Politika berusaha tetap kritis di tengah ancaman pemberangusan. Amir Daulay: Setelah , Amir mendirikan Surat Kabar . Ini untuk tingkat universitas, tak seperti yang di tingkat fakultas. sengaja didirikan untuk menampung aspirasi mahasiswa Unas secara keseluruhan. Sial, baru tiga kali terbit, sudah dibreidel. Tema-tema tulisan dituduh mengandung ajaran Marxisme. Amir Daulay: Pembredelan juga dialami pers mahasiswa di Yogyakarta, seperti Lembaga Pers Mahasiswa Arena dari IAIN Sunan Kalijaga. Burhan, pimpinan umum Arena kala itu, bercerita, majalahnya dibreidel lantaran mengupas bisnis keluarga dan kroni Soeharto. Teror dan intimidasi mewarnai perjalanan pers mahasiswa sebelum Reformasi 1998. Aparat dan birokrat seperti berlomba memberangus pergerakan mahasiswa. Pada saat yang sama, mahasiswa melihat pemerintahan dan kebijakan Soeharto kian mengkhawatirkan: otoriter dan korup. Mahasiswa menolak diam. Selebaran terus disebar, jaringan tetap dibangun. Salah satu selebaran yang kerap ditemui adalah Amir Daulay: Kabar dari Pijar Jaringan dibangun lewat pelatihan jurnalistik secara rutin. Kata Amir, dari pelatihan itu lahirlah komite-komite aksi di berbagai kota. Merekalah yang kemudian giat menyuarakan reformasi lewat berbagai gerakan mahasiswa. Di tingkat lokal sampai tingkat nasional. Pendiri Lembaga Pers Mahasiswa Balairung dari Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Muhammad Toriq menjelaskan: Pers mahasiswa terus bertahan di bawah tanah, menyelinap dari intaian aparat dan birokrat. Pers mahasiswa ikut juga mendongkel pemerintahan Orde Baru.
Awal 1997, pers mahasiswa kembali menguat. Mereka tak gentar mengangkat tema sarat kritik terhadap pemerintahan Soeharto. Aktivis Universitas Gadjah Mada, UGM, Ajianto Dwinugroho mengatakan, antara 1997-1998, rajin mengangkat tema seputar kebijakan Orde Baru. Geliat yang sama juga terjadi di Kota Kembang, Bandung. Pemimpin Umum Lembaga Pers Mahasiswa Universitas Pasundan periode 1997-1998 Eka Satya Laksmana mengatakan, media yang dipimpinnya banyak mengkritik rezim Orde Baru: Aktivis pers mahasiswa dari Jakarta, Bejo Untung bercerita, kala itu pers umum lebih banyak bungkam. Tak berani atau tak mau bicara soal keburukan Orde Baru. Nyaris seperti corong pemerintah. Celah inilah yang dimanfaatkan pers mahasiswa, mereka menyuarakan keresahan masyarakat. Bercerita tentang hal-hal yang tak bakal ditemui di media umum. Seperti kata Bejo Untung, bekas pemimpin redaksi Majalah Didaktika Universitas Negeri Jakarta ini, pers mahasiswa adalah bacaan alternatif.
Peran ini juga yang dijalankan buletin Bergerak, seperti dituturkan aktivis pers mahasiswa Universitas Indonesia, Sutono Erlistanu: Saat itu, Universitas Indonesia sebetulnya sudah punya Majalah . Tapi karena derasnya isu reformasi dan upaya menjatuhkan Soeharto, Sutono memilih mendirikan yang terbit harian. Sutono Erlistanu:BergerakOplahnya luar biasa untuk ukuran pers mahasiswa. Sampai lima ribu eksemplar! Pembacanya pun tak hanya mahasiswa, tapi masyarakat umum.
Sutono Erlistanu: Bergerak
Universitas Negeri Jakarta tak mau kalah, mereka terbitkan . Kata Bejo Untung, Pemrednya, terbit seminggu sekali. Oplah mencapai seribu eksemplar.
Bejo Untung:
Dari kumpul-kumpul menggarap pers mahasiswa, kekuatan bawah tanah terus digalang. Apalagi saat itu organisasi gerakan mahasiswa nyaris mandul. Koordintor Forum Pers Mahasiswa Jakarta, FPMJ, periode 1997-1998, Abdullah menuturkan:
“Organisasi taktis yang dimaksud adalah Serikat Mahasiswa Rawamangun yang dibentuk oleh Lembaga Pers Mahasiswa, Didaktika.“ . Pertemuan demi pertemuan memperkuat gerakan bawah tanah yang dimotori mahasiswa. Puncaknya adalah komite aksi bernama Forum Kota, Forkot.
Abdullah: Di lapangan, semua tumpah ruah jadi satu. Tak terbelenggu jaket almamater, tak peduli mahasiswa atau masyarakat umum, semua punya kehendak sama, menuntut Soeharto mundur. Dan Soeharto pun betul-betul terjungkal dari kursi kekuasaannya, 10 tahun lalu.
Kehidupan pers mahasiswa di awal Orde Baru sangat dinamis. Mereka menikmati kebebasan pers sepenuhnya. Sampai dengan tahun 1974, pers mahasiswa hidup di luar lingkungan kampus. Artinya, kehidupan mereka benar‑benar tergantung pada kemampuan mereka untuk dibeli oleh masyarakat di luar kampus. Periode 1980‑an, pers mahasiswa berada di kampus kembali. Hal itu tidak bisa dilepaskan dari keadaan sistem politik waktu itu yang mulai melakukan kontrol ketat atas pers mahasiswa. Pers mahasiswa yang terbit di luar kampus menjadi pers umum. Sedang pers mahasiswa yang berada di kampus diberi bantuan secara finansial oleh universitas untuk mendukung kehidupannya. Pers mahasiswa pun mulai tergantung pada pihak universitas. Seiring dengan ketergantungan itu, visi mereka pun mulai mengalami perubahan. Tumbangnya orde baru digantikan oleh orde reformasi, dipenuhi dengan harapan-harapan idealistis akan makin bersihnya tatanan kehidupan sosial politik kita dengan nilai‑nilai konstruktif untuk membangun peradaban bangsa yang jauh dari nilai‑nilai koruptif, kolutif, maupun nepotif.Dalam proses reformatif ini, harus diakui peran pers mahasiswa ternyata masih cukup menonjol. Pada awal‑awal kejatuhan rejim orde baru, peran pers mahasiswa sangat terasa. Melalui apa yang mereka sebut sebagai newsletter, para aktivis pers mahasiswa di Jakarta melalui “Bergerak”, Yogyakarta melalui, “Gugat” ataupun kota‑kota besar lainnya mengadakan liputan jurnalistik mengenai berbagai aksi mahasiswa untuk menggulingkan rejim orde baru. Kegiatan mereka terlihat kompak, karena antara satu kota dengan kota yang lainnya terjalin kontak melalui media internet. 2..Jaman Orde Baru Setelah peristiwa G.30.S/PKI IPMI sebagai Lembaga Pers Mahasiswa Indonesia terlibat penuh dalam usaha pelenyapan Demokrasi Terpimpin dan akhirnya melahirkan Aliansi Segitiga (Aktivis Pers Mahasiswa, Militer dan Teknokrat) untuk menghancurkan kondisi yang membelenggu bangsa dalam Outhoritarian. Pada awal era ini, Pers Mahasiswa kembali ke lembaganya yakni IPMI. Lembaga Pers Mahasiswa se Indonesia ini beorientasi jelas memaparkan kejelekan Demokrasi Terpimpin melibatkan diri dalam kegiatan politik dengan menjadi Biro Penerangan dari KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia). Di era ini tebit harian KAMI yang terkemuka yaitu Mahasiswa Indonesia (Jabar), Mimbar Demokrasi (Bandung) dan keduanya adalah penebitan resmi IPMI. Ternyata kehidupan Liberal yang dijanjikan oleh para “penguasa” sesudah era Demokrasi Terpimpin dirasakan ternyata hanya sementara saja. Dan format baru politik Indonesia di mulai dengan diadakan PEMILU, perlahan namun pasti Orde Baru beralih menjadi otoriter. Dengan dipengaruhi keputusan format baru perpolitikan Indonesia bahwa kegiatan politrik diatur oleh pemerintah dan ditambah kebijaksanaan bagi aktivitas dunia kemahasiswaan harus melakukan back to campus. Hal di atas itulah yang mermbuat IPMI mengalami krisis identitas. Hal ini terlihat ketika Harian KAMI, penerbitan IPMI yang ada di luar kampus terpaksa dilepas dan akhirnya menjadi Pers Umum. Hal ini dikarenakan oleh iklim perpolitikan yang dikembangkan saat itu dan ditopang oleh kebijakan pemerintah yang memaksa anggota IPMI adalah murni mahasiswa yang beraktifitas di dalam kampus. Kemudian adanya kebijaksanaan Pemerintah tentang penyerdehanaan partai Tahun 1975, dilanjutkan dengan disetujuinya keputusan pemerintah oleh sebagian anggota IPMI bahwa Pers Mahasiswa harus kembali ke kampus maka dalam Kongres III pada tahun akhirnya IPMI dipaksa untuk back to campus. Terpaksa kemunduran pun terjadi lagi dalam tubuh IPMI, perlahan-lahan Media-media pers mahasiswa yang ada di luar kampus banyak yang berguguran. Sejalan dengan new format kondisi perpolitikan indonesia yang mengharuskan Semua Lembaga Pers Mahasiswa Indonesia harus back to campus dan kemudian direspon kembali oleh IPMI dengan mencoba berbenah diri, kemudian melakukan kongresnya yang ke IV pada bulan Maret 1976 di Medan. Dalam kongres itu, IPMI belum mampu keluar dari permasalahan hidup antara di luar atau di dalam kampus. Akhirnya, IPMI gagal dalam mencari Eksistensinya, tidak menghasilkan AD/ART baru ditambah IPMI banyak ditinggalkan oleh LPM anggota yang memang pada saat itu terlalu enjoy mengurusi urusan di dalam kampus masing-masing sehingga lupa kewajiban organisasi skala nasional yang dulu pernah dibentuk bersama.. Pada sekitar awal tahun 1978, Media Umum banyak yang di breidel sebagai cermin ketakutan penguasa waktu itu dengan institusi pers, sebagai contoh KOMPAS, SINAR HARAPAN, MERDEKA, INDONESIA TIMES dan masih banyak lagi yang lainnya. Akibatnya, “dunia” pers yang kosong diisi oleh Pers Mahasiswa Indonesia tentunya dengan pemberitaan khas sebagai cerminan Pers Mahasiswa yaitu kritis, berani dan keras. Era ini, oplah Surat Kabar Mahasiswa mencapai puncaknya. Namun, Pers Mahasiswa yang dikatakan oleh Daniel Dakidae sebagai cagar alam kebebasan pers akhirnya juga di breidel karena kekritisan dan keberanian menyuarakan kenyataan di masyatrakat. Dilanjutkan dengan kebijaksanaan NKK/BKK yang memaksa kekuatan Pers Mahasiswa untuk masuk dalam kampus, kemudian hampir semua media Pers Mahasiswa Indonesia di “matikan”. Inilah pertama kali dalam sejarah Pers Indonesia semua Pers mahasiswa Indonesia di bredel. Selain membumihanguskan semua Lembaga pers Mahasiswa, pemerintah masih kurang terima karena masih ada IPMI yang masih bercokol dalam skala nasional. Untuk itu, pemerintah lebih mengoptimalisasi BKSPMI (Badan Kerjasama Pers Mahasiswa Indonesia) yang dibentuk 1969 sebagai tandingan IPMI. Ditambah lagi aksi penguasa yang menghabisi semua Gerakan Mahasiswa Anti Suharto yang nota bene sebagai “Underbow” IPMI Kemudian dilanjutkan peristiwa MALARI (Mala Petaka Limabelas Januari) yang sangat tragis pada tahun 1974 dan diberlakukannya NKK/BKK yang mengurung ruang gerak Aktivis Pers Mahasiswa dalam kampus pada Tahun 1978. Dengan kenyataan diatas Pers Mahasiswa (IPMI) menjadi tidak bebas merefleksikan secara tuntas kenyataan hidup dalam masyarakat kemudian menginjak padam pada menjelang pertengahan Tahun 1982. Selain membumihanguskan semua Lembaga pers Mahasiswa, pemerintah masih kurang terima karena masih ada IPMI yang masih bercokol dalam skala nasional. Untuk itu, pemerintah lebih mengoptimalisasi BKSPMI (Badan Kerjasama Pers Mahasiswa Indonesia) yang dibentuk 1969 sebagai tandingan IPMI. Ditambah lagi aksi penguasa yang menghabisi semua Gerakan Mahasiswa Anti Suharto yang nota bene sebagai “Underbow” IPMI Kemudian dilanjutkan peristiwa MALARI (Mala Petaka Limabelas Januari) yang sangat tragis pada tahun 1974 dan diberlakukannya NKK/BKK yang mengurung ruang gerak Aktivis Pers Mahasiswa dalam kampus pada Tahun 1978. Dengan kenyataan diatas Pers Mahasiswa (IPMI) menjadi tidak bebas merefleksikan secara tuntas kenyataan hidup dalam masyarakat kemudian menginjak padam pada menjelang pertengahan Tahun 1982.
Kesimpulan Pers pada masa ORBA, tidak memiliki kebebasan seperti sekarang. Dan banyak pers yang kritis harus di bredel atau di cabut SIUPP. Dan kegiatan mahasiswa saat itu pun tidak sebebas pada masa sekarang.
Referensi Retno Listyarti.Pendidikan Kewarganegaraan SMA.2005.Jakarta:Esis. Citra Triwamwoto,Petrus.Kewarganegaraan.2004.Jakarta:Grasindo Agus Sudibyo Peneliti Media ISAI Jakarta, Koordinator Koalisi untuk Kebebasan Informasi
Abar, Ahmad Zaini. 1994. “Kekecewaan Masyarakat dan Kebebasan Pers”. Prisma. Jakarta: LP3ES.
Afandi, Emilianus. 2005. Menggugat Negara; Rasionalitas Demokrasi, HAM, dan Kebebasan. Jakarta: PBHI.
Akhmadi, Heri (ed.). 1997. Ilusi Sebuah Kekuasaan. Jakarta: ISAI.
Bulkin, Farchan (Peng). 1988. Analisa Kekuatan Politik di Indonesia; Pilihan Artikel Prisma. Jakarta: LP3ES.
Imawan, Riswandha. 1998. Membedah Politik Orde Baru. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Muis, A. 2000. Titian Jalan Demokrasi; Peranan Kebebasan Pers untuk Budaya Komunikasi Politik. Jakarta: Penerbit Harian Kompas.
Pamungkas, Sri-Bintang. 2003. Setelah hari “H“. Jakarta: Pustaka Utan Kayu.
Simanjutak, Togi (ed.). 1998. Wartawan Terpasung; Intervensi Negara di Tubuh PWI. Jakarta: ISAI. http://penaonline.wordpress.com/2007/12/23/sejarah-pers-mahasiswa-indonesia/ www.kabarindonesia.com Tempo, 19 Januari 2003 .